Jumat, 20 April 2012

Patah hati = Sakit Fisik ?

 
Pernahkah Anda mengalami putus cinta? Mungkin, sebagian besar dari kita pasti pernah mengalami apa itu putus cinta atau bahkan ditolak cintanya. Perasaan sakit pun muncul dalam benak kita, karena harapan tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapi

Ahli saraf dari Universitas Columbia (AS) menyatakan, cinta yang tak terbalas itu juga menyakitkan dalam arti secara fisiologis. Bukan hanya sakit karena segi psikologis, tetapi juga dirasakan secara fisik.
Ketika kita mengalami putus cinta, teringat kenangan apa pun tentang dia, maka itu akan mengaktifkan area otak yang sama seperti ketika Anda mengalami sakit fisik parah. Selain itu, efeknya bukan hanya berlaku bagi Anda, namun juga dirasakan oleh orang-orang yang merasa sakit karena Anda.

Untuk meringankan rasa sakit, para peneliti merekomendasikan latihan pernapasan dan psikoterapi, serta bersosialisasi dengan teman dan keluarga. Sangat disarankan oleh para ilmuwan untuk mengobati seseorang yang mengalami perasaan sakit karena cinta yang kandas dan tidak bahagia, untuk memperlakukan mereka seperti mereka sedang sakit parah atau terluka. Mengapa? Karena mereka benar-benar tengah sakit..

Nah,berdasarkan artikel di atas..yang memang sudah pernah merasakan dan berhasil melewatinya, seperti sembuh dari rasa sakit dan penderitaan yaa..hehhee** jika sakit itu menyerang,tentu tidak dapat anda hindari..tetapi bisa diringankan dengan latihan pernafasan, dan tentunya bersosialisasi. jangan biarkan diri anda yang sangat berharga terlarut dalam cinta yang bukan kehendak yang Maha Kuasa,,tetaplah berpikir positif, bahwa dibalik semua kejadian yang terjadi pada anda pastilah ada alasan besar yang menyertainya..semangat..:)

sumber:www.psikologizone.com

Sangkaan Peran Gender

Mungkin sebagian dari kita sudah tak lazim lagi mendengar kata2* peran gender. Yaa..sebuah gambaran peran yang diasumsikan kepada masing-masing individu baik maskulinitas ataupun feminism. 
Di Indonesia, perempuan telah diberi peluang yang sama dengan laki-laki di bidang pendidikan, namun persepsi masyarakat terhadap perempuan tidak mengalami perubahan yang berarti. Masih kuatnya anggapan bahwa pendidikan pada wanita tujuannya adalah agar ia lebih mampu mendidik anak-anaknya. Perempuan tetap saja dianggap the second sex. Culture faham patriarchi yang dianut masyarakatnya dari jaman nenek moyang membuat anggapan-anggapan tersebut terus melekat.
Jika berbicara mengenai modernisasi yang saat ini terus berkembang di masyarakat, kita perlu mengkaji tentang issue-issue gender yang terjadi pada laki-laki. Dengan kata lain, tdk hanya dari sisi perempuan yang selama ini diituntut mengalami perubahan,
Berubahnya peran-peran wanita ini, seharusnya membawa konsekuensi berubah pula peran-peran pria, sekaligus tatanan sosial yang ada. Jika pria sebagai bagian dari masyarakat, tidak ikut berubah, maka permasalahan akan timbul. Dalam skala keluarga misalnya, dengan bekerjanya seorang ibu, maka iapun berperan sebagai pemberi nafkah keluarga, yang tentunya mempengaruhi ketersediaan waktu dan tenaga ibu untuk berperan di dalam pengaturan rumah tangga serta pengasuhan anak. Sehingga bapak diharapkan juga dapat mengisi peran-peran seperti pengasuhan anak dan pekerjaan keluarga..
Namun berbagai kondisi yang tampil, menunjukkan hal yang berbeda, wanita diperkenankan untuk bekerja, baik dengan alasan ekonomi, maupun alasan pengembangan diri, namun di sisi lain, ia tetap dituntut bertanggung jawab penuh di dunia rumah tangga serta pengasuhan anak. Kondisi yang kerap diistilahkan sebagai peran ganda ini, tanpa melibatkan peran serta pria untuk membuat keseimbangan, cenderung akan menimbulkan berbagai permasalahan.
Konflik peran gender mengimplikasikan permasalahan-permasalahan kognitif, emosional, ketidaksadaran dan perilaku yang disebabkan oleh sosialisasi peran gender yang dipelajari di masyarakat yang seksis dan patriarchal. Untuk mengatasi peran tersebut mungkin kita mengenal istilah “Androgini” atau gabungan antara feminism dan maskulin, dan dapat saling mengisinya. Mungkin disini peran androgini masih bersifat agresif dan kompetisi. Namun peran transcendences bisa lebih baik diterapkan karena menuju kpd arah professional,sesuai dgn kesetaraan peran.
                      
  Saran ke arah perbaikan, yakni mendefenisikan kembali maskulinitas, umumnya dikaitkan dengan perubahan aspek-aspek budaya patriarchal, seperti mendefenisikan kembali peran ayah, mentransformasikan budaya yang memasukkan unsur-unsur kepedulian dan pengasuhan sebagai bagian dari norma menjadi pria terhadap anak-anak pria, dan aktivitas para pria sendiri, seperti model gender role journey, yang berujung pada transendens peran. Cara-cara ini dianggap bermanfaat bagi pria dan wanita serta hubungan di antara ke duanya.
Semoga berguna,, Trims
Nurul Husna, Spsi